Jumat, 24 Mei 2013

Mesin Waktu

Di tengah terik matahari, aku terengah-engah mengejar Bahri yang berjalan jauh di depanku. Sambil membawa gergaji di bahunya, ia masih terus berjalan tanpa menghiraukan kata-kataku yang memperingatkannya. Aku buka sepatu ‘boot’ku untuk meringankan langkahku mengejar Bahri. Namun tetap saja, kaki pendekku tidak bisa mengejar langkah seorang pria berdarah Belanda itu. Akhirnya aku putuskan untuk melempar sepatu ‘boot’ku tepat ke punggungnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti, dan tanpa pikir panjang, seketika ia berbalik ke arahku.
“Berhasil!” gumamku dalam hati sambil mengepalkan tanganku dengan senang.
            “Apa yang kau tertawakan?” ucapnya sinis. Aku hanya membalasnya dengan wajah yang sinis kembali.
            “Maksudmu apa melemparku dengan ‘boot’ mu itu, hah? Kau tidak suka aku pergi dari sini?” bentaknya.
            “Apa kau tidak akan menunggu yang lainnya Bahri?” jawabku tenang.
            “Apa? Apa yang harus aku tunggu? Apa perlu, aku menunggu omongan-omongan manusia ‘tak bermasa depan’ itu? nada bicaranya kian meninggi.
            “Siapa yang kamu maksud dengan manusia ‘tak bermasa depan itu’, seharusnya kamu bisa lebih menjaga lisanmu itu kawan?” aku terpancing emosi karena kata-kata yang terlontar dari mulutnya.
            “Hah, ternyata aku salah. Kau sama saja dengan manusia-manusia itu!” ia menjawab, kemudian kembali melanjutkan langkahnya tanpa menunggu lagi jawaban dariku. Aku mencoba untuk berdiri, namun rasanya tulang-tulangku telah terbius rasa lelah. Aku biarkan ia pergi, meskipun sebenarnya, masih banyak yang harus aku bicarakan.
            Aku bangkit dengan sekuat tenagaku, kemudian berjalan menuju satu pohon yang rindang diantara puluhan batang-batang kayu yang tergeletak di tanah. Sambil menunggu yang lainnya, aku coba berbaring dibawah pohon itu untuk mengembalikan sedikit tenagaku, karena tidaklah mungkin bagiku untuk kembali ke tempat dimana teman-temanku berada. Jika aku paksakan, mungkin itu hanya akan mematahkan sendi-sendiku saja.
            “Apa yang terjadi pada Bahri, mengapa Ia melakukan hal itu? Selama aku menjadi temannya baru kali ini aku melihat dia bertindak seenaknya. Tidakkan ia peduli pada masa depannya? Aku pikir ia sendirilah yang pantas disebut sebagai manusia ‘tak bermasa depan’.” gumamku dalam hati memikirkan tingkah laku Bahri. Aku menghela nafas panjang, aku pejamkan mataku, tanpa sadar aku terlelap di bawah pohon itu. Matahari kian meninggi, dan kini ia tepat berada di atas pohon tempatku tertidur.
            Dalam tidurku, aku bertemu dengan sesosok pria dengan pedang di tangannya. Namun sayangnya aku tidak bisa melihat wajahnya, pria itu berjalan dengan perlahan menuju salah satu pohon di tempat tersebut.
            “Apa yang akan ia lakukan dengan pedang itu?” tanyaku dalam mimpi. Tanpa alasan yang jelas ia langsung menebang pohon itu. Tidak lama setelah pohon itu terjatuh ke tanah, dengan sekejap, kobaran api membakar pria itu dan kemudian membakar semua yang ada di tempat itu. Keringat dingin menetes dari dahiku, dalam mimpi itu, aku sama sekali tidak bisa bergerak. Setelah semuanya habis terbakar, aku melihat gelombang air yang besar datang dari arahku. Aku hanya bisa pasrah. Aku melihat tempat itu telah berubah menjadi lautan, dan aku tenggelam di dalamnya.
            “Aaah!” aku berteriak dan terbangun dari mimpi burukku. Aku usap wajahku yang terbalur keringat dingin. Aku masih terengah-engah karena mimpi itu. Langit mulai redup, aku lihat teman-temanku yang berjalan dari arah timur menuju ke arahku. Mereka mulai mendekat, aku coba menyembunyikan wajah tegangku. Karena akan sangat memalukan bagi seorang pria sepertiku jika teman-temanku mengetahui bahwa semuanya hanya karena sebuah mimpi burukku di tengah siang bolong.
            “Apa yang kau lakukan disini Rud?” tanya Dani kepadaku.
            “Kan kau sendiri tahu, tadi aku mengejar Bahri sampai kesini. Tapi karena aku kelelahan, jadi aku tidak bisa kembali lagi ke sana.” jelasku sambil menepuk-nepuk bajuku yang kotor.
            “Lalu, dimana Bahri sekarang?” tanyanya lagi.
            “Dia sangat keras kepala!” jawabku kesal.
            “Sudah ku katakan tak ada gunanya kau mengejar Bahri, hanya membuang-buang tenagamu saja. Bahri hanya bisa berbuat semaunya, tak pernah mau mendengarkan kata-kata orang lain!” timbal Tajudin. Tanpa melanjutkan percakapan, kami langsung melanjukan perjalanan pulang. Sepanjang jalan aku terus memikirka arti mimpiku tadi.
            “Pedang, pohon, api, air... Hmm, apa maksudnya?” gumamku dalam hati.
            “Sudahlah, mungkin itu pengaruh dari cuaca siang tadi yang panas.” jawabku sendiri sambil menengadahkan kepalaku melihat langit sore. Aku berusaha untuk menenangkan diriku sendiri dari mimpi buruk siang tadi.
***
            Hari gelap, matahari telah kembali ke peristirahatannya. Aku segera mengguyur tubuhku dengan seember air yang telah aku ambil dari sumur di belakang rumahku. Dinginnya angin malam tak sedikitpun menusuk tubuhku, mungkin karena saking tebalnya ‘daki’ yang menutupi setiap pori-pori di kulitku. Aku tidak berlama-lama di air, meskipun sebenarnya aku belum puas dengan kesegaran angin malam yang sejuk ini. Namun ada hal yang harus aku lakukan. Malam ini rencananya aku akan pergi ke rumah Bahri untuk melanjutkan pembicaraan tadi siang. Aku segera pergi ke kamar kecilku yang terlihat hangat dengan diterangi sebuah lampu minyak yang menggantung di dinding bambu. Aku buka lemariku dan mengambil sebuah jeans ‘belel’ dan kaos oblong coklat yang lusuh, ini merupakan salah satu baju kesayanganku dari beberapa baju yang kumiliki. Setelah selesai mengenakannya, aku pergi ke dapur untuk mengganjal perutku yang kosong sejak siang tadi. Aku ambil sesendok nasi dan sepotong kepala ikan asin ke atas piringku, ini merupakan hidangan istimewa yang sangat cocok untuk perut orang yang kelaparan sepertiku. Secepat kilat ku menghabiskan semuanya.
            Aku segera bergegas pergi menuju rumah Bahri, meskipun besar keraguan yang memberatkan kaki ini untuk melangkah namun aku paksakan diri untuk mantapkan niatku. Dengan ditemani sebatang obor, aku menyusuri jalan yang sempit dan licin sisa gerimis tadi sore. Mungkin untuk sebagian orang ini merupakan hal yang tidak biasa, namun bagi kami, sebagai warga Kampung Carik ini hanya hal yang sangat biasa. Kakiku berjalan secepat mungkin, karena sepertinya obor yang kubawa tidak akan bertahan lebih lama lagi.
            “Jika obor ini mati, mati pula riwayatku.” gumam cemas dalam hati. Tidak lama kemudian, aku melihat sebuah rumah kecil telah berdiri di depan mata. Ya, itulah rumah yang aku tuju, rumah Bahri, atau lebih tepatnya rumah orang tua Bahri. Dari jauh sudah ku lihat seorang pemuda tinggi sedang duduk di depan perapian di samping rumahnya. Seperti yang kukatakan sebelumnya, dia adalah pemuda berdarah Belanda. Yang aku ingat, dia dulu pernah bercerita padaku, bahwa buyutnyalah yang merupakan asli Belanda, itulah yang membuat postur tubuhnya tinggi dengan hidung yang mancung, tidak sepertiku yang pendek dan hitam.
            “Wah, beruntung sekali kau!” ucapku  ketika mendengar cerita tentang silsilah keluarganya dulu.
Tanpa pikir panjang lagi aku segera menghampirinya, dengan ragu ku tepuk punggungnya.
            “Hey!” sapaku.
            “Ada apa malam-malam begini kau kemari?” jawabnya tanpa sedikitpun Ia menatapku. Sebelum menjawabnya, aku coba duduk disampingnya secara perlahan.
            “Maaf untuk kejadian tadi siang Ri, itu karena aku kesal pada sikapmu.” Jawabku tenang.
            “Mengapa kau harus kesal padaku? Bukankah selayaknya akulah yang kesal pada kalian!” ia menyanggah perkataanku.
            “Apa maksudmu Ri?  aku rasa tak sedikitpun hal yang salah dari tindakan yang kita lakukan.” Akupun menyanggah perkataannya. ia tersenyum sinis.
            “Aku harap kau akan mengerti setelah melihatnya.” jawabnya. Aku tidak mengerti dengan apa yang ia maksud. Ia pun segera masuk ke rumahnya tanpa menghiraukanku sedikitpun.
            “Apa maksudmu?” tanyaku sekali lagi. Tapi ia masih saja terus berjalan masuk. Aku hanya bisa berdiri menatap pintu rumahnya yang tertutup perlahan.
            Tak lama kemudian seorang wanita tua dengan baju kebaya berwarna putih membuka pintu rumah itu. Dia adalah ibu Bahri.
            “Nak Rudi, ada apa malam-malam datang kemari? Ayo masuk! Mengapa tadi Bahri tidak menyuruhmu masuk?” tanyanya dengan wajah ramah penuh senyuman. Aku membalas senyumnya.
            “Oh, ah, emm, aku baru saja datang barusan Bu. Jadi Bahri belum tahu aku datang kemari.” Aku menjawabnya dengan berbohong, karena dengan keadaan yang seperti ini hanya akan menambah masalah jika aku jujur. Aku pun masuk ke rumah kecil itu.
            “Masuk saja ke kamarnya, Bahri ada di dalam.” suruhnya.
            “Oh baik bu. Tapi mungkin untuk malam ini aku akan ikut menginap disini bu, soalnya minyak obor yang saya bawa sudah kering.” Aku meminta izin.
            “Tentu, silahkan saja. Tidak biasanya kau meminta izin dahulu Rud.” Ucapnya dengan nada bercanda. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Melihat kain penutup kamarnya terbuka, aku coba masuk.
            “Malam ini aku akan ikut menginap di rumahmu Ri.” Aku meminta izin padanya, namun sayangnya ia tidak menghiraukanku. Aku coba menenangkan diri dengan membaringkan badanku di atas lantai kayu beralaskan tikar, meskipun sebenarnya aku sangat kesal karena sikapnya. Tapi aku coba mengerti, karena memang begitulah Bahri. Dia adalah orang yang dingin, pendiam dan tertutup. Aku sangat mengenalnya, wajarlah aku dan dia telah berteman sejak usia 5 tahun hingga saat ini. Sudah seringkali aku jengkel akan sikapnya, tapi inilah kali pertamanya aku melihatnya se-egois itu.
            Semalaman, tak sedikitpun kami bercakap-cakap. Ia hanya sibuk mencoret-coret selembar daun jati kering dengan batang tinta miliknya. Sementara aku hanya bisa membolak-balik buku cerita milik Bahri yang telah 50 kali ku baca. Malam ini aku hanya membuang-buang waktu saja, aku pikir tidak akan separah ini jadinya. Tapi sudahlah, ini satu-satunya jalan yang bisa aku lalui untuk memperbaiki persahabatanku dengan Bahri.
***
Aku berusaha membuka satu-persatu kelopak mataku yang sangat terasa berat. Namun mendengar suara burung-burung yang bernyanyi, rasa membuatku lebih mudah untuk melakukannya. Aku bangkit dan meregangkan satu persatu lengan dan kakiku untuk melepaskan tali kantuk yang mengikatku semalaman tadi. Saat ku lihat ke kanan dan kiri, ternyata Bahri sudah keluar dari kamar. Dia benar-benar marah padaku, karena tidak biasanya dia meninggalkanku tertidur di kamarnya begitu saja. Selama 14 tahun aku berteman dengannya, hampir setiap aku menginap di rumahnya, pasti dia akan mengguyurku dengan segelas air. Setiap aku memarahinya karena kejahilannya itu, ia selalu mengelak bahwa ia melakukannya agar aku terbiasa untuk tidak bangun kesiangan. Tapi tidak untuk pagi ini, semuanya terasa beda, pagi ini lebih dingin dari segelas air yang biasanya diguyurkan Bahri,pagi ini juga lebih mengesalkan dari pada kejahilan Bahri di pagi hari biasanya. Semua berbeda.
            Aku melangkahkan kakiku menuju ke luar rumah, aku melihat ibu Bahri yang sedang asik membersihkan bawang dari kulitnya. Segera ku hampiri dia.
            “Pagi bu, ngomong-ngomong ibu lihat Bahri tidak?” tanyaku.
            “Eh nak, sudah bangun ya. Oh, tadi subuh Bahri bilang akan pergi ke hutan nak.” Jawabnya.
            “Ke hutan? Ke hutan untuk apa bu?” tanyaku lagi.
            “Entahlah, ibu tidak menanyakannya, nak Rudi.” Jawabnya dengan wajah yang bingung.
            “Oh, ya sudah, tidak apa-apa. Saya pulang dulu ya bu, terima kasih.” Aku berpamitan sambil menciun telapak tangan ibu Bahri, sebagaimana aku mencium telapak tangan Almarhum ibuku dulu. Merasakan hangatnya tangan ibu Bahri, membuatku kembali bernostalgia dengan masa laluku. Ketika ibu dan bapakku menggandeng tanganku berjalan menuju rumah sepulangnya dari kebun. Masa-masa itu hanya tinggal kenangan, kini aku hanya bisa menggandeng sebuah cangkul dan rantang sepulangnya dari kebun. Sudahlah.
***
            Aku sampai di rumah, pagi ini sepertinya aku tidak akan makan beras, karena persediaan berasku hanya cukup untuk satu kali makan malam saja. Untuk pagi ini aku akan coba mencari singkong di kebun tetanggaku, meskipun tidak akan membuat perut puas, tetapi setidaknya ini dapat membangun tenaga untukku melanjutkan pekerjaan kemarin. Aku melangkahkan kaki menuju kebun tetanggaku di samping rumah, kebetulan dia ada di kebun, jadi aku tak perlu sibuk mencarinya terlebih dahulu untuk meminta izin.
            Aku segera membakar singkong hasil perburuanku tadi dan segera menghabiskannya untuk menghemat waktu. Setelah selesai aku segera mengambil peralatan kerjaku kemudian segera bergegas menuju hutan. Sebelum sampai di hutan, aku tiba-tiba teringat Bahri yang menurut ibunya pergi ke hutan. Akupun memutuskan untuk mencari Bahri selama perjalanan ini. Aku berharap segera menemukannya untuk menguraikan benang kusut ini.
            Pagi ini tak seperti pagi-pagi lainnya, pagi ini aku tidak mendengar suara burung yang biasanya bernyanyi menyambut siapa saja yang datang ke hutan ini. Bahkan akupun ragu, apakah tempat ini masih layak disebut sebagai hutan? Karena hanya tinggal satu dua pohon yang tersisa di tempat ini.
“Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah kesepakatan kami pemuda Kampung Carik untuk menebang habis pohon di hutan ini, toh ini pun untuk kemajuan warga Kampung Carik sendiri. Dengan penebangan ini, sudah jelas keuntungan yang besar telah menanti di depan mata. Inilah yang akan menjadi modal bagi pembangunan Kampung Carik. Bukankah seperti itu?” hatiku mengungkapkan seluruh persetujuannya terhadap tindakan yang telah kami lakukan.
            Kakiku terus melangkah menyusuri jalan yang ditaburi serpihan-serpihan kayu yang basah. Kupandangi sekitarku, namun aku belum menemui satupun orang di tempat ini. Kini pandanganku hanya tertuju pada satu arah, sebuah pohon tua tempatku tertidur dan mendapatkan mimpi buruk kemarin. Aku terus melangkah dan hampir menjauhi pohon itu, namun sebelum jauh lagi, aku tersadar, ternyata seorang pemuda sedang terduduk di bawahnya.
            “Apakah dia ingin mendapatkan mimpi buruk sepertiku?” gumamku melihat Bahri yang hanya diam di bawah pohon itu. Aku menghampirinya, dan lagi, dia hanya terdiam saat aku duduk disampingnya.
            “Sedang apa kau Ri?” tanyaku.
            “Bukankah kau ingin mengetahui jawabanku untuk pertanyaanmu kemarin?” jawabnya. Aku hanya ditambahnya bingung dengan ucapannya yang secara tiba-tiba seperti itu. Aku tak menjawabnya sama sekali, aku hanya diam dan memandangi sebuah daun jati kering milik Bahri yang telah dipenuhi garis-garis tinta hitam diatasnya, entah apa maksudnya, itulah yang membuatku tertarik untuk memperhatikannya.
            “Sepertinya itu daun yang Bahri lukis semalaman tadi, tapi mengapa gambarnya sangat tidak berbentuk? Untuk apa dia bergadang jika hanya untuk membuat lukisan seperti itu saja.” hatiku bertanya-tanya melihat daun itu.
***
Sudah hampir 2 jam kami terdiam di tempat ini. Hingga akhirnya aku pun angkat bicara.
“Hey, kenapa kau hanya diam saja? Bukankah tadi kau katakan akan menjawab pertanyaanku kemarin?” bentakku.
“Kau tahu Rud, andaikan pohon adalah mesin waktu, mungkin kita bisa mengetahui masa depan dari semuanya. Juga, apabila pohon adalah mesin waktu, jika kita menghancurkannya, itu berarti sama saja dengan kita menghancurkan masa depan kita sendiri.” jawabnya. Aku berusaha untuk memahami maksud dari kata-katanya itu.
            Matahari tepat berada di atas pohon tempat kami terduduk, tiba-tiba sebuah lubang hitam memerangkap kami di dalamnya, aku segera memegang tangan Bahri. Tapi aku tidak melihat sedikit pun ketegangan di mata Bahri.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” gumamku dalam hati. Secara tiba-tiba pohon itu membentuk suatu lorong dimensi, kami berjalan menyusuri lorong dimensi itu, hingga akhirnya kami terhenti di suatu tempat asing. Setibanya di tempat tersebut, kami disambut peristiwa yang sebelumnya belum pernah kami lihat, atau lebih tepatnya belum pernah aku lihat karena sepertinya Bahri sudah tidak asing dengan peristiwa seperti ini. Aku melihat sebuah bukit dengan keadaan yang sangat aneh, di bukit tersebut aku melihat gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh di atasnya, namun aku tidak melihat satupun pohon di bukit tersebut. Tiba-tiba aku tersirat keadaan hutan di Kampung Carik yang hampir sebagian besar telah kehilangan pepohonannya. Aku mulai terhenyak dengan keadaan ini.
Ini belum berakhir, karena sekarang lorong dimensi itu kembali menjemput kami dan mengantarkan kami menuju suatu tempat lainnya. Kali ini kami sampai di suatu tempat yang terlihat asing, namun sebenarnya tidak asing bagi kami, temapt di mana aku terlahir dan tumbuh dewasa. Ya, tempat itu adalah kampungku sendiri, Kampung Carik. Semua terlihat asing  ketika melihat keadaannya yang sangat berbeda dengan kenyataannya. Sungai yang dahulunya mengalir tenang, kini menggenang tertahan sampah yang membentuk tanggul tinggi di setiap sudutnya. Angin yang dulunya mengalun sejuk, kini tergantikan oleh asap-asap kendaraan yang gersang dan penat. Tanah yang dulunya kokoh tertahan akar-akar pohon, kini terjatuh bersamaan dengan rumput yang kekeringan. Aku semakin tercengang, ketika melihat mata air yang dahulu mengalir deras dari pegunungan, kini tergantikan oleh derasnya gelombang banjir yang datang dari setiap sudut perkampungan. Melihatnya semakin lama, secara perlahan, keringat dingin mengalir semakin deras, jiwaku semakin terhenyak, nafasku semakin sesak, ragaku semakin kaku, dan darahku semakin membeku.
Kini firasatku mulai berkata, ia menyatakan bahwa ini adalah kesalahan kami sendiri yang tidak mampu untuk menjaga lingkungan ini dengan baik. Keserakahan telah merajai diri kami sehingga pada akhirnya kami melakukan segala hal semata-mata hanya untuk memenuhi hasrat nafsu yang mendominasi setiap tindakan yang kami lakukan. Keegoisan telah menghipnotis diri kami untuk bertindak tanpa berpikir panjang bagi orang lain dan masa depan.
Tanpa sadar, setiapa langkah kami menuju penebangan itu adalah langkah kami menuju kehancuran. Setiap batang-batang kayu yang terjatuh adalah masa depan kami yang terjatuh secara perlahan. Setiap potongan-potongan kayu yang terbelah adalah harapan kami yang terbelah secara perlahan. Begitu pula kemarahan Bahri terhadap sikap kami, mungkin itu merupakan cerminan kemarahan alam yang kian membenci tindakan-tindakan yang kami lakukan. Ya, semua kehancuran yang kami terima adalah buah dari kecerobohan yang kami lakukan. Aku jadi teringat kata-kata ibuku dulu.
“Nak, ketika kau melakukan suatu kebaikan pasti kau akan mendapat balasannya. Begitu pula dengan keburukan. Setiap perbuatan yang kita lakukan pastilah akan mendapat balasan. Nak, ingatlah, Tuhan itu Maha Adil!” ia menasehatiku dengan penuh kasih sayang. Sekarang aku semakin memahami maksud dari kata-kata itu. Bahkan kini, aku telah merasakannya.
Aku bingung sendiri, mengapa aku baru menyadari kesalahanku ketika aku telah mendapatkan peringatan? Jadi, jika tidak ada yang membangunkanku, akankah aku terbangun dari mimpi buruk ini? Apakah setiap kesalahan yang aku lakukan baru kusadari ketika aku mendapatkan balasannya? Apakah untuk mendaki sebuah tebing aku perlu untuk terjun ke lembahnya terlebih dahulu? Apakah untuk bangkit aku perlu terjatuh sebelumnya? Perlukah aku menunggu kehancuran untuk memperbaiki kehancuran sebelumnya?
Semua pertanyaan itu terhenti seiringan dengan berakhirnya perjalananku di masa ini, karena sepertinya lorong dimensi itu telah menjemputku untuk kembali ke masa dimana seharusnya aku berada dan masa dimana seharusnya aku memperbaiki alamku yang telah ku rusak. Ku susuri kembali lorong dimensi itu, ku lewati ribuan masa depan yang mungkin tidak akan ku lalui lagi. Sepanjang perjalanan, ku kuatkan kembali tekadku, untuk mengembalikan semua seperti semula. Bahri hanya tersenyum melihatku yang tertunduk malu padanya. Karena sejujurnya, aku memang merasa malu padanya yang lebih dulu mampu untuk memikirkan masa depan tanpa mendahulukan keegoisan.
“Bahri, aku bangga memiliki sahabat sepertimu!”
***
Ketika daun-daun berjatuhan
Angin pagi menyapunya pergi
Ketika ranting-ranting bersalaman
Burung bernyanyi mengiringi
Ketika akar-akar menggenggam erat tanah
Air mengalir tenang dan beriringan
Ketika itulah semua tertawa
Ketika itulah semua bahagia
Ketika itulah masa depan mewujudkan harapan

Sebait puisi karya Tajudin menghiasi setiap sudut-sudut hutan. Kini pepohonan yang hijau telah kembali berdiri kokoh di hutan ini, meskipun pohon-pohon ini belum bisa dijadikan tempat untuk berteduh bagi kami, namun suatu saat, pohon-pohon inilah yang akan menjadi tempat berteduh bagi anak cucu kami di masa yang akan datang, pohon inilah yang akan memberikan nafas bagi anak cucu kami di masa yang akan datang.
 Kini semua telah kembali seperti semula, semua telah terbangun dari mimpi buruk panjangnya. Kini kami telah menemukan arti sebenarnya dari masa depan itu sendiri. Kini semua telah menikmati indahnya kasih sayang yang alam yang begitu memanjakan. Namun, ini bukanlah akhir bagi kami dalam menjaga alam, namun ini adalah awal bagi kami. Karena masih banyak generasi selanjutnya yang harus kami bekali dengan kesadaran dan kecintaan terhadap bumi ini. Semangat mereka adalah semangat bumi ini. Kekuatan mereka adalah kekuatan bumi ini. Masa depan mereka adalah penentu masa depan bumi ini.

“Ketika kau memberikan yang terbaik bagi bumi ini, maka kau telah memberikan yang terbaik untuk semua orang!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar