Di
tengah terik matahari, aku terengah-engah mengejar Bahri yang berjalan jauh di
depanku. Sambil membawa gergaji di bahunya, ia masih terus berjalan tanpa
menghiraukan kata-kataku yang memperingatkannya. Aku buka sepatu ‘boot’ku untuk
meringankan langkahku mengejar Bahri. Namun tetap saja, kaki pendekku tidak
bisa mengejar langkah seorang pria berdarah Belanda itu. Akhirnya aku putuskan
untuk melempar sepatu ‘boot’ku tepat ke punggungnya. Langkahnya tiba-tiba
terhenti, dan tanpa pikir panjang, seketika ia berbalik ke arahku.
“Berhasil!”
gumamku dalam hati sambil mengepalkan tanganku dengan senang.
“Apa yang kau tertawakan?” ucapnya
sinis. Aku hanya membalasnya dengan wajah yang sinis kembali.
“Maksudmu apa melemparku dengan
‘boot’ mu itu, hah? Kau tidak suka aku pergi dari sini?” bentaknya.
“Apa kau tidak akan menunggu yang
lainnya Bahri?” jawabku tenang.
“Apa? Apa yang harus aku tunggu? Apa
perlu, aku menunggu omongan-omongan manusia ‘tak bermasa depan’ itu? nada
bicaranya kian meninggi.
“Siapa yang kamu maksud dengan
manusia ‘tak bermasa depan itu’, seharusnya kamu bisa lebih menjaga lisanmu itu
kawan?” aku terpancing emosi karena kata-kata yang terlontar dari mulutnya.
“Hah, ternyata aku salah. Kau sama
saja dengan manusia-manusia itu!” ia menjawab, kemudian kembali melanjutkan
langkahnya tanpa menunggu lagi jawaban dariku. Aku mencoba untuk berdiri, namun
rasanya tulang-tulangku telah terbius rasa lelah. Aku biarkan ia pergi,
meskipun sebenarnya, masih banyak yang harus aku bicarakan.
Aku bangkit dengan sekuat tenagaku,
kemudian berjalan menuju satu pohon yang rindang diantara puluhan batang-batang
kayu yang tergeletak di tanah. Sambil menunggu yang lainnya, aku coba berbaring
dibawah pohon itu untuk mengembalikan sedikit tenagaku, karena tidaklah mungkin
bagiku untuk kembali ke tempat dimana teman-temanku berada. Jika aku paksakan,
mungkin itu hanya akan mematahkan sendi-sendiku saja.
“Apa
yang terjadi pada Bahri, mengapa Ia melakukan hal itu? Selama aku menjadi
temannya baru kali ini aku melihat dia bertindak seenaknya. Tidakkan ia peduli
pada masa depannya? Aku pikir ia sendirilah yang pantas disebut sebagai manusia
‘tak bermasa depan’.” gumamku dalam hati memikirkan tingkah laku Bahri. Aku
menghela nafas panjang, aku pejamkan mataku, tanpa sadar aku terlelap di bawah
pohon itu. Matahari kian meninggi, dan kini ia tepat berada di atas pohon
tempatku tertidur.
Dalam tidurku, aku bertemu dengan
sesosok pria dengan pedang di tangannya. Namun sayangnya aku tidak bisa melihat
wajahnya, pria itu berjalan dengan perlahan menuju salah satu pohon di tempat
tersebut.
“Apa yang akan ia lakukan dengan
pedang itu?” tanyaku dalam mimpi. Tanpa alasan yang jelas ia langsung menebang
pohon itu. Tidak lama setelah pohon itu terjatuh ke tanah, dengan sekejap,
kobaran api membakar pria itu dan kemudian membakar semua yang ada di tempat
itu. Keringat dingin menetes dari dahiku, dalam mimpi itu, aku sama sekali
tidak bisa bergerak. Setelah semuanya habis terbakar, aku melihat gelombang air
yang besar datang dari arahku. Aku hanya bisa pasrah. Aku melihat tempat itu
telah berubah menjadi lautan, dan aku tenggelam di dalamnya.
“Aaah!” aku berteriak dan terbangun
dari mimpi burukku. Aku usap wajahku yang terbalur keringat dingin. Aku masih
terengah-engah karena mimpi itu. Langit mulai redup, aku lihat teman-temanku
yang berjalan dari arah timur menuju ke arahku. Mereka mulai mendekat, aku coba
menyembunyikan wajah tegangku. Karena akan sangat memalukan bagi seorang pria
sepertiku jika teman-temanku mengetahui bahwa semuanya hanya karena sebuah
mimpi burukku di tengah siang bolong.
“Apa yang kau lakukan disini Rud?”
tanya Dani kepadaku.
“Kan kau sendiri tahu, tadi aku
mengejar Bahri sampai kesini. Tapi karena aku kelelahan, jadi aku tidak bisa
kembali lagi ke sana.” jelasku sambil menepuk-nepuk bajuku yang kotor.
“Lalu, dimana Bahri sekarang?”
tanyanya lagi.
“Dia sangat keras kepala!” jawabku
kesal.
“Sudah ku katakan tak ada gunanya
kau mengejar Bahri, hanya membuang-buang tenagamu saja. Bahri hanya bisa
berbuat semaunya, tak pernah mau mendengarkan kata-kata orang lain!” timbal
Tajudin. Tanpa melanjutkan percakapan, kami langsung melanjukan perjalanan
pulang. Sepanjang jalan aku terus memikirka arti mimpiku tadi.
“Pedang,
pohon, api, air... Hmm, apa maksudnya?” gumamku dalam hati.
“Sudahlah, mungkin itu pengaruh dari
cuaca siang tadi yang panas.” jawabku sendiri sambil menengadahkan kepalaku
melihat langit sore. Aku berusaha untuk menenangkan diriku sendiri dari mimpi
buruk siang tadi.
***
Hari gelap, matahari telah kembali
ke peristirahatannya. Aku segera mengguyur tubuhku dengan seember air yang
telah aku ambil dari sumur di belakang rumahku. Dinginnya angin malam tak
sedikitpun menusuk tubuhku, mungkin karena saking tebalnya ‘daki’ yang menutupi
setiap pori-pori di kulitku. Aku tidak berlama-lama di air, meskipun sebenarnya
aku belum puas dengan kesegaran angin malam yang sejuk ini. Namun ada hal yang
harus aku lakukan. Malam ini rencananya aku akan pergi ke rumah Bahri untuk
melanjutkan pembicaraan tadi siang. Aku segera pergi ke kamar kecilku yang
terlihat hangat dengan diterangi sebuah lampu minyak yang menggantung di
dinding bambu. Aku buka lemariku dan mengambil sebuah jeans ‘belel’ dan kaos
oblong coklat yang lusuh, ini merupakan salah satu baju kesayanganku dari beberapa
baju yang kumiliki. Setelah selesai mengenakannya, aku pergi ke dapur untuk
mengganjal perutku yang kosong sejak siang tadi. Aku ambil sesendok nasi dan
sepotong kepala ikan asin ke atas piringku, ini merupakan hidangan istimewa
yang sangat cocok untuk perut orang yang kelaparan sepertiku. Secepat kilat ku
menghabiskan semuanya.
Aku segera bergegas pergi menuju
rumah Bahri, meskipun besar keraguan yang memberatkan kaki ini untuk melangkah
namun aku paksakan diri untuk mantapkan niatku. Dengan ditemani sebatang obor,
aku menyusuri jalan yang sempit dan licin sisa gerimis tadi sore. Mungkin untuk
sebagian orang ini merupakan hal yang tidak biasa, namun bagi kami, sebagai
warga Kampung Carik ini hanya hal yang sangat biasa. Kakiku berjalan secepat
mungkin, karena sepertinya obor yang kubawa tidak akan bertahan lebih lama
lagi.
“Jika
obor ini mati, mati pula riwayatku.” gumam cemas dalam hati. Tidak lama
kemudian, aku melihat sebuah rumah kecil telah berdiri di depan mata. Ya,
itulah rumah yang aku tuju, rumah Bahri, atau lebih tepatnya rumah orang tua
Bahri. Dari jauh sudah ku lihat seorang pemuda tinggi sedang duduk di depan
perapian di samping rumahnya. Seperti yang kukatakan sebelumnya, dia adalah
pemuda berdarah Belanda. Yang aku ingat, dia dulu pernah bercerita padaku,
bahwa buyutnyalah yang merupakan asli Belanda, itulah yang membuat postur
tubuhnya tinggi dengan hidung yang mancung, tidak sepertiku yang pendek dan
hitam.
“Wah, beruntung sekali kau!”
ucapku ketika mendengar cerita tentang
silsilah keluarganya dulu.
Tanpa pikir
panjang lagi aku segera menghampirinya, dengan ragu ku tepuk punggungnya.
“Hey!” sapaku.
“Ada apa malam-malam begini kau
kemari?” jawabnya tanpa sedikitpun Ia menatapku. Sebelum menjawabnya, aku coba
duduk disampingnya secara perlahan.
“Maaf untuk kejadian tadi siang Ri,
itu karena aku kesal pada sikapmu.” Jawabku tenang.
“Mengapa kau harus kesal padaku?
Bukankah selayaknya akulah yang kesal pada kalian!” ia menyanggah perkataanku.
“Apa maksudmu Ri? aku rasa tak sedikitpun hal yang salah dari
tindakan yang kita lakukan.” Akupun menyanggah perkataannya. ia tersenyum
sinis.
“Aku harap kau akan mengerti setelah
melihatnya.” jawabnya. Aku tidak mengerti dengan apa yang ia maksud. Ia pun
segera masuk ke rumahnya tanpa menghiraukanku sedikitpun.
“Apa maksudmu?” tanyaku sekali lagi.
Tapi ia masih saja terus berjalan masuk. Aku hanya bisa berdiri menatap pintu
rumahnya yang tertutup perlahan.
Tak lama kemudian seorang wanita tua
dengan baju kebaya berwarna putih membuka pintu rumah itu. Dia adalah ibu
Bahri.
“Nak Rudi, ada apa malam-malam
datang kemari? Ayo masuk! Mengapa tadi Bahri tidak menyuruhmu masuk?” tanyanya
dengan wajah ramah penuh senyuman. Aku membalas senyumnya.
“Oh, ah, emm, aku baru saja datang
barusan Bu. Jadi Bahri belum tahu aku datang kemari.” Aku menjawabnya dengan
berbohong, karena dengan keadaan yang seperti ini hanya akan menambah masalah
jika aku jujur. Aku pun masuk ke rumah kecil itu.
“Masuk saja ke kamarnya, Bahri ada
di dalam.” suruhnya.
“Oh baik bu. Tapi mungkin untuk
malam ini aku akan ikut menginap disini bu, soalnya minyak obor yang saya bawa
sudah kering.” Aku meminta izin.
“Tentu, silahkan saja. Tidak
biasanya kau meminta izin dahulu Rud.” Ucapnya dengan nada bercanda. Aku hanya membalasnya
dengan senyuman. Melihat kain penutup kamarnya terbuka, aku coba masuk.
“Malam ini aku akan ikut menginap di
rumahmu Ri.” Aku meminta izin padanya, namun sayangnya ia tidak menghiraukanku.
Aku coba menenangkan diri dengan membaringkan badanku di atas lantai kayu
beralaskan tikar, meskipun sebenarnya aku sangat kesal karena sikapnya. Tapi
aku coba mengerti, karena memang begitulah Bahri. Dia adalah orang yang dingin,
pendiam dan tertutup. Aku sangat mengenalnya, wajarlah aku dan dia telah berteman
sejak usia 5 tahun hingga saat ini. Sudah seringkali aku jengkel akan sikapnya,
tapi inilah kali pertamanya aku melihatnya se-egois itu.
Semalaman, tak sedikitpun kami
bercakap-cakap. Ia hanya sibuk mencoret-coret selembar daun jati kering dengan
batang tinta miliknya. Sementara aku hanya bisa membolak-balik buku cerita
milik Bahri yang telah 50 kali ku baca. Malam ini aku hanya membuang-buang
waktu saja, aku pikir tidak akan separah ini jadinya. Tapi sudahlah, ini
satu-satunya jalan yang bisa aku lalui untuk memperbaiki persahabatanku dengan
Bahri.
***
Aku
berusaha membuka satu-persatu kelopak mataku yang sangat terasa berat. Namun
mendengar suara burung-burung yang bernyanyi, rasa membuatku lebih mudah untuk
melakukannya. Aku bangkit dan meregangkan satu persatu lengan dan kakiku untuk
melepaskan tali kantuk yang mengikatku semalaman tadi. Saat ku lihat ke kanan
dan kiri, ternyata Bahri sudah keluar dari kamar. Dia benar-benar marah padaku,
karena tidak biasanya dia meninggalkanku tertidur di kamarnya begitu saja.
Selama 14 tahun aku berteman dengannya, hampir setiap aku menginap di rumahnya,
pasti dia akan mengguyurku dengan segelas air. Setiap aku memarahinya karena
kejahilannya itu, ia selalu mengelak bahwa ia melakukannya agar aku terbiasa
untuk tidak bangun kesiangan. Tapi tidak untuk pagi ini, semuanya terasa beda,
pagi ini lebih dingin dari segelas air yang biasanya diguyurkan Bahri,pagi ini
juga lebih mengesalkan dari pada kejahilan Bahri di pagi hari biasanya. Semua
berbeda.
Aku melangkahkan kakiku menuju ke
luar rumah, aku melihat ibu Bahri yang sedang asik membersihkan bawang dari
kulitnya. Segera ku hampiri dia.
“Pagi bu, ngomong-ngomong ibu lihat
Bahri tidak?” tanyaku.
“Eh nak, sudah bangun ya. Oh, tadi
subuh Bahri bilang akan pergi ke hutan nak.” Jawabnya.
“Ke hutan? Ke hutan untuk apa bu?”
tanyaku lagi.
“Entahlah, ibu tidak menanyakannya,
nak Rudi.” Jawabnya dengan wajah yang bingung.
“Oh, ya sudah, tidak apa-apa. Saya
pulang dulu ya bu, terima kasih.” Aku berpamitan sambil menciun telapak tangan
ibu Bahri, sebagaimana aku mencium telapak tangan Almarhum ibuku dulu.
Merasakan hangatnya tangan ibu Bahri, membuatku kembali bernostalgia dengan
masa laluku. Ketika ibu dan bapakku menggandeng tanganku berjalan menuju rumah
sepulangnya dari kebun. Masa-masa itu hanya tinggal kenangan, kini aku hanya
bisa menggandeng sebuah cangkul dan rantang sepulangnya dari kebun. Sudahlah.
***
Aku sampai di rumah, pagi ini
sepertinya aku tidak akan makan beras, karena persediaan berasku hanya cukup
untuk satu kali makan malam saja. Untuk pagi ini aku akan coba mencari singkong
di kebun tetanggaku, meskipun tidak akan membuat perut puas, tetapi setidaknya
ini dapat membangun tenaga untukku melanjutkan pekerjaan kemarin. Aku
melangkahkan kaki menuju kebun tetanggaku di samping rumah, kebetulan dia ada
di kebun, jadi aku tak perlu sibuk mencarinya terlebih dahulu untuk meminta
izin.
Aku segera membakar singkong hasil
perburuanku tadi dan segera menghabiskannya untuk menghemat waktu. Setelah
selesai aku segera mengambil peralatan kerjaku kemudian segera bergegas menuju
hutan. Sebelum sampai di hutan, aku tiba-tiba teringat Bahri yang menurut
ibunya pergi ke hutan. Akupun memutuskan untuk mencari Bahri selama perjalanan
ini. Aku berharap segera menemukannya untuk menguraikan benang kusut ini.
Pagi ini tak seperti pagi-pagi
lainnya, pagi ini aku tidak mendengar suara burung yang biasanya bernyanyi
menyambut siapa saja yang datang ke hutan ini. Bahkan akupun ragu, apakah
tempat ini masih layak disebut sebagai hutan? Karena hanya tinggal satu dua pohon
yang tersisa di tempat ini.
“Tapi mau bagaimana
lagi, ini sudah kesepakatan kami pemuda Kampung Carik untuk menebang habis
pohon di hutan ini, toh ini pun untuk kemajuan warga Kampung Carik sendiri. Dengan
penebangan ini, sudah jelas keuntungan yang besar telah menanti di depan mata.
Inilah yang akan menjadi modal bagi pembangunan Kampung Carik. Bukankah seperti
itu?” hatiku mengungkapkan seluruh persetujuannya
terhadap tindakan yang telah kami lakukan.
Kakiku terus melangkah menyusuri
jalan yang ditaburi serpihan-serpihan kayu yang basah. Kupandangi sekitarku,
namun aku belum menemui satupun orang di tempat ini. Kini pandanganku hanya
tertuju pada satu arah, sebuah pohon tua tempatku tertidur dan mendapatkan
mimpi buruk kemarin. Aku terus melangkah dan hampir menjauhi pohon itu, namun
sebelum jauh lagi, aku tersadar, ternyata seorang pemuda sedang terduduk di
bawahnya.
“Apakah
dia ingin mendapatkan mimpi buruk sepertiku?” gumamku melihat Bahri yang
hanya diam di bawah pohon itu. Aku menghampirinya, dan lagi, dia hanya terdiam
saat aku duduk disampingnya.
“Sedang apa kau Ri?” tanyaku.
“Bukankah kau ingin mengetahui
jawabanku untuk pertanyaanmu kemarin?” jawabnya. Aku hanya ditambahnya bingung
dengan ucapannya yang secara tiba-tiba seperti itu. Aku tak menjawabnya sama
sekali, aku hanya diam dan memandangi sebuah daun jati kering milik Bahri yang
telah dipenuhi garis-garis tinta hitam diatasnya, entah apa maksudnya, itulah
yang membuatku tertarik untuk memperhatikannya.
“Sepertinya
itu daun yang Bahri lukis semalaman tadi, tapi mengapa gambarnya sangat tidak
berbentuk? Untuk apa dia bergadang jika hanya untuk membuat lukisan seperti itu
saja.” hatiku bertanya-tanya melihat daun itu.
***
Sudah
hampir 2 jam kami terdiam di tempat ini. Hingga akhirnya aku pun angkat bicara.
“Hey,
kenapa kau hanya diam saja? Bukankah tadi kau katakan akan menjawab
pertanyaanku kemarin?” bentakku.
“Kau
tahu Rud, andaikan pohon adalah mesin waktu, mungkin kita bisa mengetahui masa
depan dari semuanya. Juga, apabila pohon adalah mesin waktu, jika kita
menghancurkannya, itu berarti sama saja dengan kita menghancurkan masa depan
kita sendiri.” jawabnya. Aku berusaha untuk memahami maksud dari kata-katanya
itu.
Matahari tepat berada di atas pohon
tempat kami terduduk, tiba-tiba sebuah lubang hitam memerangkap kami di
dalamnya, aku segera memegang tangan Bahri. Tapi aku tidak melihat sedikit pun
ketegangan di mata Bahri.
“Sebenarnya apa yang
terjadi?” gumamku dalam hati. Secara tiba-tiba
pohon itu membentuk suatu lorong dimensi, kami berjalan menyusuri lorong
dimensi itu, hingga akhirnya kami terhenti di suatu tempat asing. Setibanya di
tempat tersebut, kami disambut peristiwa yang sebelumnya belum pernah kami
lihat, atau lebih tepatnya belum pernah aku lihat karena sepertinya Bahri sudah
tidak asing dengan peristiwa seperti ini. Aku melihat sebuah bukit dengan
keadaan yang sangat aneh, di bukit tersebut aku melihat gedung-gedung pencakar
langit berdiri kokoh di atasnya, namun aku tidak melihat satupun pohon di bukit
tersebut. Tiba-tiba aku tersirat keadaan hutan di Kampung Carik yang hampir
sebagian besar telah kehilangan pepohonannya. Aku mulai terhenyak dengan
keadaan ini.
Ini
belum berakhir, karena sekarang lorong dimensi itu kembali menjemput kami dan
mengantarkan kami menuju suatu tempat lainnya. Kali ini kami sampai di suatu
tempat yang terlihat asing, namun sebenarnya tidak asing bagi kami, temapt di
mana aku terlahir dan tumbuh dewasa. Ya, tempat itu adalah kampungku sendiri,
Kampung Carik. Semua terlihat asing
ketika melihat keadaannya yang sangat berbeda dengan kenyataannya. Sungai
yang dahulunya mengalir tenang, kini menggenang tertahan sampah yang membentuk
tanggul tinggi di setiap sudutnya. Angin yang dulunya mengalun sejuk, kini
tergantikan oleh asap-asap kendaraan yang gersang dan penat. Tanah yang dulunya
kokoh tertahan akar-akar pohon, kini terjatuh bersamaan dengan rumput yang
kekeringan. Aku semakin tercengang, ketika melihat mata air yang dahulu
mengalir deras dari pegunungan, kini tergantikan oleh derasnya gelombang banjir
yang datang dari setiap sudut perkampungan. Melihatnya semakin lama, secara
perlahan, keringat dingin mengalir semakin deras, jiwaku semakin terhenyak,
nafasku semakin sesak, ragaku semakin kaku, dan darahku semakin membeku.
Kini
firasatku mulai berkata, ia menyatakan bahwa ini adalah kesalahan kami sendiri
yang tidak mampu untuk menjaga lingkungan ini dengan baik. Keserakahan telah merajai
diri kami sehingga pada akhirnya kami melakukan segala hal semata-mata hanya
untuk memenuhi hasrat nafsu yang mendominasi setiap tindakan yang kami lakukan.
Keegoisan telah menghipnotis diri kami untuk bertindak tanpa berpikir panjang bagi
orang lain dan masa depan.
Tanpa
sadar, setiapa langkah kami menuju penebangan itu adalah langkah kami menuju
kehancuran. Setiap batang-batang kayu yang terjatuh adalah masa depan kami yang
terjatuh secara perlahan. Setiap potongan-potongan kayu yang terbelah adalah
harapan kami yang terbelah secara perlahan. Begitu pula kemarahan Bahri
terhadap sikap kami, mungkin itu merupakan cerminan kemarahan alam yang kian
membenci tindakan-tindakan yang kami lakukan. Ya, semua kehancuran yang kami
terima adalah buah dari kecerobohan yang kami lakukan. Aku jadi teringat kata-kata
ibuku dulu.
“Nak,
ketika kau melakukan suatu kebaikan pasti kau akan mendapat balasannya. Begitu
pula dengan keburukan. Setiap perbuatan yang kita lakukan pastilah akan
mendapat balasan. Nak, ingatlah, Tuhan itu Maha Adil!” ia menasehatiku dengan penuh
kasih sayang. Sekarang aku semakin memahami maksud dari kata-kata itu. Bahkan
kini, aku telah merasakannya.
Aku
bingung sendiri, mengapa aku baru menyadari kesalahanku ketika aku telah
mendapatkan peringatan? Jadi, jika tidak ada yang membangunkanku, akankah aku
terbangun dari mimpi buruk ini? Apakah setiap kesalahan yang aku lakukan baru
kusadari ketika aku mendapatkan balasannya? Apakah untuk mendaki sebuah tebing
aku perlu untuk terjun ke lembahnya terlebih dahulu? Apakah untuk bangkit aku
perlu terjatuh sebelumnya? Perlukah aku menunggu kehancuran untuk memperbaiki
kehancuran sebelumnya?
Semua
pertanyaan itu terhenti seiringan dengan berakhirnya perjalananku di masa ini,
karena sepertinya lorong dimensi itu telah menjemputku untuk kembali ke masa
dimana seharusnya aku berada dan masa dimana seharusnya aku memperbaiki alamku
yang telah ku rusak. Ku susuri kembali lorong dimensi itu, ku lewati ribuan
masa depan yang mungkin tidak akan ku lalui lagi. Sepanjang perjalanan, ku
kuatkan kembali tekadku, untuk mengembalikan semua seperti semula. Bahri hanya
tersenyum melihatku yang tertunduk malu padanya. Karena sejujurnya, aku memang
merasa malu padanya yang lebih dulu mampu untuk memikirkan masa depan tanpa
mendahulukan keegoisan.
“Bahri, aku bangga
memiliki sahabat sepertimu!”
***
Ketika
daun-daun berjatuhan
Angin
pagi menyapunya pergi
Ketika
ranting-ranting bersalaman
Burung
bernyanyi mengiringi
Ketika
akar-akar menggenggam erat tanah
Air
mengalir tenang dan beriringan
Ketika
itulah semua tertawa
Ketika
itulah semua bahagia
Ketika
itulah masa depan mewujudkan harapan
Sebait puisi karya Tajudin menghiasi setiap
sudut-sudut hutan. Kini pepohonan yang hijau telah kembali berdiri kokoh di
hutan ini, meskipun pohon-pohon ini belum bisa dijadikan tempat untuk berteduh
bagi kami, namun suatu saat, pohon-pohon inilah yang akan menjadi tempat
berteduh bagi anak cucu kami di masa yang akan datang, pohon inilah yang akan
memberikan nafas bagi anak cucu kami di masa yang akan datang.
Kini semua
telah kembali seperti semula, semua telah terbangun dari mimpi buruk
panjangnya. Kini kami telah menemukan arti sebenarnya dari masa depan itu
sendiri. Kini semua telah menikmati indahnya kasih sayang yang alam yang begitu
memanjakan. Namun, ini bukanlah akhir bagi kami dalam menjaga alam, namun ini
adalah awal bagi kami. Karena masih banyak generasi selanjutnya yang harus kami
bekali dengan kesadaran dan kecintaan terhadap bumi ini. Semangat mereka adalah
semangat bumi ini. Kekuatan mereka adalah kekuatan bumi ini. Masa depan mereka
adalah penentu masa depan bumi ini.
“Ketika
kau memberikan yang terbaik bagi bumi ini, maka kau telah memberikan yang terbaik
untuk semua orang!”